Toko Buku Online

SELAMAT DATANG!!!
Hadir dengan informasi pendidikan, kewarganegaraan, seputar guru, pembelajaran, artikel dan penelitian (PTK). Bagi siswaku, web ini merupakan papan tulis online, bagi rekan guru: take and give. Selamat Belajar!!!

Selasa, 31 Juli 2012

KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG TIDAK ASPIRATIF, MEMBENTUK MASYARAKAT YANG SU’UDZON

 
Kebijakan tidak aspiratif: Protes!
Negara demokrasi yang diidamkan Indonesia sebagaimana amanah UUD 1945 telah tiba, melalui perjuangan panjang menuai reformasi politik dan demokrasi. Ujung yang diharapkan adalah terciptanya masyarakat yang demokratis didunia politik yang fair. Nalaritas manusia seperti disanjung oleh keadaan, sehingga kran demokrasi yang terbuka mengalirkan masyarakat yang penuh aspiratif. Tatanan masyarakat yang aspiratif begitu indah terbayang ketika sama-sama memperjuangkan demokrasi, aman, tertib, tentram dan amanah.
Seiring demokratisasi berjalan, bangsa kita berada ditapak sosio-culture yang sudah mengakar kuat hasil perbuatan pemerintahan sebelum reformasi. Masyarakat yang dulunya telah terbiasa oleh tekanan kekuasaan terorganisir. Kini menemukan lahan kebebasan yang demikian luas, tuntutan melalui berbagai saluran aspirasi baik yang formal (melalui lembaga politik dan ormas) maupun yang nonformal (melalui demonstrasi, unjuk rasa dan sejenisnya) harus diwadahi oleh penguasa (pemerintah) untuk diwujudkan dalam rangka memenuhi keinginan masyarakat. Ketika lembaga pewadah siap menerima dan mewujudkan impian masyarakat, maka pujian dan sanjungan membawa dampak semakin percayanya masyarkat pada Negara, sebaliknya jika tuntutan tidak terwadahi dan tidak menemui konklusi hasil yang diharapkan, akan menemui badai ketidakpuasan. Inilah yang terjadi di Negara Indonesia, Negara yang baru bangkit dari ketidakberdayaan aspirasi.

KEBIJAKAN YANG MENUAI PENOLAKAN
Ilustrasi feature di atas cukup membuat kita paham, apa arti sebuah kebijakan yang dilandasi aspirasi masyarakat dan kebijakan yang serta merta hanya berasal dari inisiatif penguasa belaka. Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada kebijakan yang kita rasakan hanya inspirasi pimpinan, kebijakan yang hanya untuk memperoleh popularitas dari pimpinan dimasanya. Contoh konkrit, di bidang pendidikan. Isu low quality pendidikan di Indonesia melahirkan berbagai aneka kebijakan penguasa yang tidak aspiratif dengan dalih peningkatan mutu pendidikan. Mulai peluncuran program sertifikasi dalam jabatan, penilaian kinerja guru, uji kompetensi awal dan yang baru dan masih berjalan adalah UKG (Uji Kompetensi Guru).
Maksud kebijakan tersebut baik, meningkatkan kualitas sumberdaya dan memantapkan sebuah profesi. Tetapi kembali pada latar kebijakan tersebut, apakah sudah aspiratif atau belum. Menentukan hal tersebut indikasinya adalah apakah menuai kontra atau tidak? Dari serangkaian kebijakan yang saling berkaitan tersebut nyatanya menemui kontra aspiratif. Penolakan atas dasar pemerintah tidak ikhlas, mengada-ada, menghabiskan anggaran, sampai pada anggapan tidak konstitusional. Mengapa ini terjadi? Awal dugaan mengapa pendidikan kita turun kualitas setelah reformasi adalah karena tidak sejahteranya para pendidik (guru). Profesi yang menurut kita semua luhur, dihargai dengan gaji yang minim, minimnya kesejahteraan tersebut tampak jelas pada pola hidup dan kondisi social para pendidik kita. Sebutan “Oemar Bakrie” ala Iwan Fals sudah menjadi kenyataan, bahwa guru memang kelompok pegawai dengan gaji rendah. Ukuran rendahnya gaji secara nominal jelas terlihat, tidak perlu bukti. Sehingga profesi ini diminati oleh orang-orang yang sepertinya “terpaksa”. Lain dengan profesi dokter, teknokrat, akunting dan profesi diluar keguruan seperti Polisi, Tentara dan lainnya, cukup dihargai dan mendapat penilaian social yang lebih dari masyarakat. Nah tersudutlah profesi guru karena penghargaan yang nominal yang minim. Sehingga muncul peningkatan kesejahteraan “tidak ikhlas” berupa tunjangan sertifikasi melalui berbagai saringan kegiatan yang mempresing kinerja. Masih dilanjutkan dengan berbagai taktik pemerintah untuk memperberat keadaan dengan serangkaian uji kompetensi yang harus dilalui.
Terlihatlah sudah, sertifikasi belum tuntas berjalan, sudah harus dievaluasi sedemikian rupa. Bentuk kebijakan pemberian tunjangan aspiratif, tapi konsepsi pemerintah dalam memberikan tunjangan itulah yang tidak aspiratif. Tidak sesuai keinginan dan harapan, sehingga menuai penolakan atau sikap kontraindikasi yang besar. Seharusnya pemerintah mengerti, bahwa tunjangan yang didapat adalah bagian dari pelayanan pemerintah untuk menghargai profesinya. Biarkan berjalan dengan baik disertai dengan control mekanisme yang lumrah. Maka tidak akan menemui kontraindikasi yang luar biasa. Para pendidik akan tahu diri, karena bangsa kita adalah bangsa yang lahir dari culture menghargai, “andap asor”, “rumongso” dan amanah.

MASYARAKAT SU’UDZON
Hampir semua kebijakan jika diprosentasi selalu menuai kontra, mengapa ini terjadi? Alasan politisnya adalah karena beberapa pihak anggota parlemen dari aliran politik yang berbeda dengan pemegang kebijakan. Secara vertical ke bawah, maka masyarakat meng’amini, ketika pimpinan parlemen dari yang mewakilinya memberika komando. Bagi para politikus ini sudah lumrah, tapi bagi masyarakat menimbulkan sikap tidak baik, bahkan sikap buruk ketika suatu kebijakan akan diperlakukan. Inilah yang dimaksud masyarakat yang su’udzon (bahasa agama).

Bagaimana dengan UKG?
Berbagai elemen lembaga independen maupun ormas tertentu yang bergerak di bidang pendidikan memberikan sikap kontra dengan alas an logis dan yuridis serta konseptual teoritis. Mereka tahu dengan jelas bahwa rupa-rupa kebijakan itu berlandaskan hokum atau tidak, sesuai dengan konsepsi keilmuan lazim atau tidak. Dari berbagai analisa mereka UKG menunjukkan celah kelemahan dan terkesan “ada sesuatu” dibalik kebijakan itu.
Sensitifitas para masyarakat pendidik luar biasa, maklum, semula gaji rendah ditambahi dengan 1 kali gaji. Mereka merasakan penghargaan yang luar biasa sebenarnya, jika kebanggaan dan kesenangan yang masih selintas ini harus terusik dengan aneka kebijakan, maka dipastikan sosio-emosional membangkitkan jiwa kontra, dan menduga-duga. Dugaan itu pasti buruk, mengingat era kini dinilai tidak menunjukkan kebersihan birokrasi. Alhasil bentuk sikap-sikap su’udan muncul disekitar pelaksanaan UKG:
  1. Pemerintah hanya menghabiskan anggaran agar para praktisi birokrasi terkait “kecipratan dana” yang dianggap “nganggur” jika tidak terpakai.
  2. Memaksa masyarakat pendidik agar menggunakan uang tunjangan untuk keperluan kemajuan profesinya (misalnya beli laptop, computer, buku, dan lainnya)
  3. Penggagalan tunjangan dengan alas an kompetensi tidak laya (setelah UKG diumumkan).
  4. Ganti menteri ganti kebijakan.
  5. Dan lain-lain praduga negative muncul.
Sebagai seorang pendidik, harapannya adalah kita menumpuh jalur yang normal. Pengertian normal disini sesuai dengan fungsi kita, melaksanakan profesi dengan tulus dan akuntabel. Menerapkan jiwa paedagogis dan profesionalitas dalam menghadapi tugas, mengembangkan kepribadian yang baik dalam rangka bergaul secara social dengan anak-didik dan pemangku jabatan yang lain. Semoga dikemudian hari sikap su’udzon masyarakat tidak akan timbul. Dan pemerintah semakin aspiratif dalam membuat kebijakan untuk public, terlebih lagi kebijakan untuk kalangan professional seperti pendidik/guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes
Tetukoinposting.com: Toko Buku paling terpercaya silakan belanja di http://www.belbuk.com/?ref=1965.