Memahami KI1 dan KI2 Kurikulum 2013, kita akan melihat pemikiran yang berbeda dengan KTSP 2006. Pada Kurikulum 2013 KI 1 dan KI 2 berisi kompetensi sikap, yang terbagi atas sikap spiritual dan sikap sosial.
Bagaimana KI-KI tersebut terumuskan? Ternyata bila dicermati UU Sikdiknas 20/2003, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menjelaskan tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tersurat bahwa tujuan pendidikan nasional tersebut dicapai melalui sejumlah kompetensi agar menjadi manusia Indonesia yang diharapkan. Tujuan tersebut juga sangat komprehensif (baca menyeluruh) yang disimpulkan ke dalam kompetensi-kompetensi tertentu.
MEMAHAMI MAKNA SPIRITUAL
Kalimat, "agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,..." merupakan kalimat inti yang menunjukkan sikap vertikal. Diarahkan pada potensi spiritual, manusia yang beriman dan bertaqwa wujud pengakuan luhur Bangsa Indonesia yang sejak dulu mengenal makna spiritual melalui kegiatan-kegiatan relegi yang ditunjukkan dalam kehidupan nenek moyang kita. Dalam sejarah perumusan dasar negara kita, juga telah ditunjukkan semangat dan komitmen luar biasa oleh para tokoh kita. Sehingga waktu itu, rumusan yang menyangkut dasar Ketuhanan Yang Maha Esa begitu diperhatikan. Karena itulah secara legal konstitusional, menyangkut kehidupan beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa dicantumkan pada pasal 29 UUD NRI 1945.
Kurikulum kita, KTSP 2013 mempertegas dalam makna sikap spiritual, kompetensi ini mengharapkan agar manusia-manusia yang dilahirkan melalui proses pendidikan benar-benar menunjukkan iman dan taqwa dalam arti yang sesungguhnya. Disadari bahwa kehidupan yang mencerminkan iman dan taqwa memang harus ditekankan, mengingat praktek kehidupan kita sudah cenderung menjauh dari perilaku iman dan taqwa. Di lingkungan pendidikan, bertaburan pelanggaran norma Ketuhanan. Dimulai dari perilaku pelajar kita yang cenderung hedonis dan bebas, seolah pendidik dibuat tak berdaya karenanya. Ditopang akselerasi informasi dan komunikasi yang berkembang, semakin memperlihatkan kehidupan yang tidak bermoral ketuhanan, seks bebas melanda kalangan pelajar, terlihat begitu permisif. Pendidikan seks yang tidak diikuti dengan kejelasan tujuan semakin menambah referensi kehidupan pelajar yang bebas.
Tidak kalah mencoloknya sikap rendah moral ketuhanan juga ditunjukkan oleh para pejabat kita, berbagai kasus amoral diantara mereka menunjukkan sinyalemen tersebut. Dikalangan akademisi juga demikian, berbagai kasus amoral ditunjukkan melalui media massa yang dikonsumsi oleh semua publik berbagai golongan. Rasanya tidak mengenal kata 'tabu' untuk menampilkan hal demikian.
Pertanyaannya, "Apakah mereka tidak mengenal iman dan taqwa?" tentu jawabnya mengenal. Bahkan lebih dari itu. Lantas mengapa hal ini terjadi? Karena pemahaman iman dan taqwa kurang. Memahami erat kaitanya dengan menunjukkan. Jika orang memahami 'sesuatu', artinya orang itu menunjukkan 'sesuatu' itu. Refleksi pemahaman tersebut ada pada perilaku yang ditunjukkan. Kesimpulannya adalah potensi iman dan taqwa tidak dimunculkan oleh manusia karena kurangnya pemahaman pada kehidupan yang dilandasi oleh iman dan taqwa.
SIKAP SOSIAL
Masih membahas yang tersurat dalam UU No. 20/2003, disitu terbaca kalimat, '...kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab...'. Makna yang tersimpul adalah kiatanya dengan hubungan antar manusia. Sebuah hubungan sosial yang dilandasi oleh Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam bahasa agama akrab dengan sebutan 'muamalah', bagiamana manusia harus menghargai sikap dalam pergaulan hidupnya. Harmonisasi hubungan tercermin jika dilandasi oleh sikap sosial sebagaimana dimaksud. Kalimat tersebut juga mendasari pergaulan hidup manusia agar tidak 'basa-basi' dalam bersikap pada orang lain.
Potensi manusia itu memang kreatif, inofativ sebagai wujud kemandirian makhluk Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam mengembangkan sikap tersebut hendaknya juga mengembangkan jiwa demokratis. Seiring dengan kompetisi sosial yang semakin komplek, pergaulan manusia baik secara interpersonal maupun kelompok (baca organisasi) memang telah menunjukkan sikap demokratis. Tetapi kembali dihadapkan tidak pahamnya pelaku hubungan sosial tersebut dalam memaknai dan memahami kata demokratis. Mengapa? Karena tidak dilanjuti dengan sikap tanggung jawab.
Sebuah ilustrasi sosial berikut akan memahamkan kita pada sikap sosial tersebut. Berbagai tuntutan masyarakat melalui cara-cara yang dianggap demokratis melunturkan makna demokrasi. Sekelompok organisasi menuntut perubahan penghargaan material (gaji) yang lebih pada induknya (perusahaan, lembaga,, dll) dengan cara mogok kerja, aksi unjuk rasa dan lainnya. Setelah mereka dipenuhi haknya akankah ada timbal balik perilaku kerjanya? Jawabnya, dari berbagai kasus tidak ada imbal balik perilaku. Jika dituntut, akan muncul alasan berikutnya yang seolah syah menurut pemikirannya yaitu bahwa pengabulan tuntutan tersebut semata memenuhi kebutuhan dasar, belum sesuai harapan. Begitu terus, selalu berkembang.
Tidak jauh beda dengan ilustrasi di atas, pemberian sertifikasi jabatan guru. Secara jujur lahir dan batin, apakah ada signifikansi antara pemberian tunjangan sertifikasi dengan kinerja? Dari berbagai evaluasi belum signifikan. Kembali, selalu dan selalu sebagai alasannya adalah kelayakan memenuhi kebutuhan dasar saja.
Apa yang menjadi ilustrasi di atas menunjukkan bahwa, tanggung jawab sosial belum muncul. Andaikan ada signifikansi antara tuntutan dan tanggung jawab sosial, alangkah harmonisnya kehidupan ini. Karena itulah, mendasari pendidikan 10 tahun mendatang menurut saya sangatlah tepat bila sikap sosial dimasukkan dalam garapan pendidikan melalui kurikulum 2013. Agar kelak muncul manusia-manusia kreatif, inovatif dan mandiri benar-benar bisa mengembangkan kehidupan sosial yang demokratis dan bertanggung jawab.
Memperjelas status sikap sosial tersebut, dalam kompetensi inti diperluas dengan sikap yang senada. Antara lain: jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri. Sikap tersebut harus nyata dan dialami. Karena itu hal-hal yang sifatnya empirik harus selalu dijadikan sebagai evaluasi penanaman sikap sosial tersebut. Untuk itu kita ingat kata filosofis edukatif yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Susunan kalimat bermakna edukatif ini akan menjadi penuntun dalam menunjukkan sikap sosial pada peserta didik: Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Sikap sosial ternyata menghendaki keterlibatan semua elemen. Dalam dunia pendidikan menuntut semua jajaran pemangku kepentingan memberikan contoh dalam menunjukkan sikap sosial tersebut.
Kesimpulannya, sikap sosial merupakan sikap horisontal yang dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa. Manusia Indonesia seutuhnya.
Bagaimana KI-KI tersebut terumuskan? Ternyata bila dicermati UU Sikdiknas 20/2003, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menjelaskan tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tersurat bahwa tujuan pendidikan nasional tersebut dicapai melalui sejumlah kompetensi agar menjadi manusia Indonesia yang diharapkan. Tujuan tersebut juga sangat komprehensif (baca menyeluruh) yang disimpulkan ke dalam kompetensi-kompetensi tertentu.
MEMAHAMI MAKNA SPIRITUAL
Kalimat, "agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,..." merupakan kalimat inti yang menunjukkan sikap vertikal. Diarahkan pada potensi spiritual, manusia yang beriman dan bertaqwa wujud pengakuan luhur Bangsa Indonesia yang sejak dulu mengenal makna spiritual melalui kegiatan-kegiatan relegi yang ditunjukkan dalam kehidupan nenek moyang kita. Dalam sejarah perumusan dasar negara kita, juga telah ditunjukkan semangat dan komitmen luar biasa oleh para tokoh kita. Sehingga waktu itu, rumusan yang menyangkut dasar Ketuhanan Yang Maha Esa begitu diperhatikan. Karena itulah secara legal konstitusional, menyangkut kehidupan beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa dicantumkan pada pasal 29 UUD NRI 1945.
Kurikulum kita, KTSP 2013 mempertegas dalam makna sikap spiritual, kompetensi ini mengharapkan agar manusia-manusia yang dilahirkan melalui proses pendidikan benar-benar menunjukkan iman dan taqwa dalam arti yang sesungguhnya. Disadari bahwa kehidupan yang mencerminkan iman dan taqwa memang harus ditekankan, mengingat praktek kehidupan kita sudah cenderung menjauh dari perilaku iman dan taqwa. Di lingkungan pendidikan, bertaburan pelanggaran norma Ketuhanan. Dimulai dari perilaku pelajar kita yang cenderung hedonis dan bebas, seolah pendidik dibuat tak berdaya karenanya. Ditopang akselerasi informasi dan komunikasi yang berkembang, semakin memperlihatkan kehidupan yang tidak bermoral ketuhanan, seks bebas melanda kalangan pelajar, terlihat begitu permisif. Pendidikan seks yang tidak diikuti dengan kejelasan tujuan semakin menambah referensi kehidupan pelajar yang bebas.
Tidak kalah mencoloknya sikap rendah moral ketuhanan juga ditunjukkan oleh para pejabat kita, berbagai kasus amoral diantara mereka menunjukkan sinyalemen tersebut. Dikalangan akademisi juga demikian, berbagai kasus amoral ditunjukkan melalui media massa yang dikonsumsi oleh semua publik berbagai golongan. Rasanya tidak mengenal kata 'tabu' untuk menampilkan hal demikian.
Pertanyaannya, "Apakah mereka tidak mengenal iman dan taqwa?" tentu jawabnya mengenal. Bahkan lebih dari itu. Lantas mengapa hal ini terjadi? Karena pemahaman iman dan taqwa kurang. Memahami erat kaitanya dengan menunjukkan. Jika orang memahami 'sesuatu', artinya orang itu menunjukkan 'sesuatu' itu. Refleksi pemahaman tersebut ada pada perilaku yang ditunjukkan. Kesimpulannya adalah potensi iman dan taqwa tidak dimunculkan oleh manusia karena kurangnya pemahaman pada kehidupan yang dilandasi oleh iman dan taqwa.
SIKAP SOSIAL
Masih membahas yang tersurat dalam UU No. 20/2003, disitu terbaca kalimat, '...kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab...'. Makna yang tersimpul adalah kiatanya dengan hubungan antar manusia. Sebuah hubungan sosial yang dilandasi oleh Ketuhanan yang Maha Esa. Dalam bahasa agama akrab dengan sebutan 'muamalah', bagiamana manusia harus menghargai sikap dalam pergaulan hidupnya. Harmonisasi hubungan tercermin jika dilandasi oleh sikap sosial sebagaimana dimaksud. Kalimat tersebut juga mendasari pergaulan hidup manusia agar tidak 'basa-basi' dalam bersikap pada orang lain.
Potensi manusia itu memang kreatif, inofativ sebagai wujud kemandirian makhluk Tuhan Yang Maha Esa, namun dalam mengembangkan sikap tersebut hendaknya juga mengembangkan jiwa demokratis. Seiring dengan kompetisi sosial yang semakin komplek, pergaulan manusia baik secara interpersonal maupun kelompok (baca organisasi) memang telah menunjukkan sikap demokratis. Tetapi kembali dihadapkan tidak pahamnya pelaku hubungan sosial tersebut dalam memaknai dan memahami kata demokratis. Mengapa? Karena tidak dilanjuti dengan sikap tanggung jawab.
Sebuah ilustrasi sosial berikut akan memahamkan kita pada sikap sosial tersebut. Berbagai tuntutan masyarakat melalui cara-cara yang dianggap demokratis melunturkan makna demokrasi. Sekelompok organisasi menuntut perubahan penghargaan material (gaji) yang lebih pada induknya (perusahaan, lembaga,, dll) dengan cara mogok kerja, aksi unjuk rasa dan lainnya. Setelah mereka dipenuhi haknya akankah ada timbal balik perilaku kerjanya? Jawabnya, dari berbagai kasus tidak ada imbal balik perilaku. Jika dituntut, akan muncul alasan berikutnya yang seolah syah menurut pemikirannya yaitu bahwa pengabulan tuntutan tersebut semata memenuhi kebutuhan dasar, belum sesuai harapan. Begitu terus, selalu berkembang.
Tidak jauh beda dengan ilustrasi di atas, pemberian sertifikasi jabatan guru. Secara jujur lahir dan batin, apakah ada signifikansi antara pemberian tunjangan sertifikasi dengan kinerja? Dari berbagai evaluasi belum signifikan. Kembali, selalu dan selalu sebagai alasannya adalah kelayakan memenuhi kebutuhan dasar saja.
Apa yang menjadi ilustrasi di atas menunjukkan bahwa, tanggung jawab sosial belum muncul. Andaikan ada signifikansi antara tuntutan dan tanggung jawab sosial, alangkah harmonisnya kehidupan ini. Karena itulah, mendasari pendidikan 10 tahun mendatang menurut saya sangatlah tepat bila sikap sosial dimasukkan dalam garapan pendidikan melalui kurikulum 2013. Agar kelak muncul manusia-manusia kreatif, inovatif dan mandiri benar-benar bisa mengembangkan kehidupan sosial yang demokratis dan bertanggung jawab.
Memperjelas status sikap sosial tersebut, dalam kompetensi inti diperluas dengan sikap yang senada. Antara lain: jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri. Sikap tersebut harus nyata dan dialami. Karena itu hal-hal yang sifatnya empirik harus selalu dijadikan sebagai evaluasi penanaman sikap sosial tersebut. Untuk itu kita ingat kata filosofis edukatif yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Susunan kalimat bermakna edukatif ini akan menjadi penuntun dalam menunjukkan sikap sosial pada peserta didik: Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Sikap sosial ternyata menghendaki keterlibatan semua elemen. Dalam dunia pendidikan menuntut semua jajaran pemangku kepentingan memberikan contoh dalam menunjukkan sikap sosial tersebut.
Kesimpulannya, sikap sosial merupakan sikap horisontal yang dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan pembangunan bangsa. Manusia Indonesia seutuhnya.
Have you ever considered publishing an e-book or guest authoring on other websites?
BalasHapusI have a blog based on the same subjects you discuss and would really
like to have you share some stories/information. I know my readers would value your work.
If you're even remotely interested, feel free to shoot me an email.